Teringat beberapa hari lalu aku sedang mengunjungi suatu
mall di daerah Jakarta selatan bersama kedua sahabatku.
“Kita pulangnya di jemput ya sama temen cowok gue” kata
sahabatku.
Baik, kita sebut saja disini sahabatku itu namanya A.
“lah serius dia mau jemput kita jauh jauh begini? Rumahnya
kan jauh” sahutku
“ah biarin, dia mah pasti mau mau aja!” katanya sambil
tertawa.
Oke. Aku manggut manggut. Tak lama kemudian
“tapi orangnya itu enggak banget, zonk deh! Males banget
kalau liat muka dia, untung dia bermobil, ketolong jadinya! Lagipula tiap gue
jalan jalan atau makan dia selalu bayarin Hahahaha” lanjut si A.
Oh Tuhan hatiku mulai tak setuju. Kuakui sahabatku si A ini
adalah yang cantik rupawan. Kulit putih yang selalu diidamkan kebanyakan wanita
Indonesia, bentuk tubuh proporsional, dan wajah yang menarik. Itu mungkin
senjata dia.
Ternyata temen cowok sahabatku ini terkena macet sehingga
kami masih harus lama menunggu.
Si A berinisiatif mengambil handphone dan menelponnya:
“Lama banget sih ya Ampun gatau apa kita udah pada capek?!”
Mungkin di seberang sana sudah beribu ribu kali minta maaf.
Lagipula bukan salah dia sepenuhnya. Nenek moyang pun tahu Jakarta macet.
Lalu sampai akhirnya tiba saat cowok itu tiba, kami semua
menaiki mobil. Sahabatku A, duduk di sebelah kanannya, sahabatku B duduk
dibelakang kursi supir, dan aku duduk di belakang kursi A.
Entah mengapa, semua caci maki yang si A lontarkan di mall
tadi tentang cowok tersebut seakan hilang. Dia bersikap sangat manis, I mean,
sangaaaaat manis. Ia menanyakan kabar cowok tersebut dengan lembut, mengobrol
dengan dia tentang seluk beluk cowok tersebut.
Lalu hatiku berteriak : “Dasar muka dua! Tadi aja lo jelek
jelekkin nih orang!”
Tentunya itu hanya di hatiku.
Dengan suara radio mobil yang sayup sayup serta suara
obrolan ngalor ngidul si A dengan teman cowok nya juga suara notifikasi bbm di
hp sahabatku si B yang sedang asyik bbman dengan gebetannya.
Aku mulai merenung.
Oh begini ya cinta?
Oh begini ya suatu hubungan?
Oh begini ya cinta buta?
Si cewek pura pura mencintai hanya karena sebuah mobil
ataupun makan dan jalan jalan gratis, si cowok mencintai karena cewek itu
cantik luar biasa.
Lalu aku teringat kamu.
Aku teringat saat kita pertama kali bertemu.
Darahku berdesir, I can’t take my eyes from you.
Aku teringat wajah cuek dan lesu mu saat kita pertama kali
daftar di universitas ini.
Aku teringat suara malas malasan mu dalam menjawab semua
pertanyaan semua senior kita waktu itu.
Aku teringat…
Semua baru seperti kemarin, ternyata tanpa terasa sudah berjalan
waktu 2 tahun.
Sudah dua tahun ya?
Tapi rasa ini masih sama.
Statis dari semester 1 hingga semester 5.
Kamu, semangat ku.
Lelah aku mencoba semua baju di lemariku setiap sebelum
berangkat ke kampus, bertukar tukar mencari yang terbaik, untuk menarik
perhatianmu di kelas nanti.
Lelah aku belajar dari malam hingga pagi buta agar kamu bisa
memintaku mengajarimu, karena aku tau kamu kurang di mata kuliah ini.
Lelah aku membuat catatan catatan lengkap agar kamu bisa
meminjamnya.
Mengapa aku melakukan semua itu?
Ya, aku mencintaimu.
Aku mencintai suaramu
Aku mencintai lelucon garing mu
Aku mencintai gaya pakaianmu yang aneh
Aku mencintai foto foto mu yang aneh
Aku mencintai umpatan umpatanmu dalam Bahasa inggris
Aku mencintai gaya cuekmu
Aku mencintai kesederhanaanmu.
Aku mencintai semua yang ada padamu.
Tak usahlah kita naik mobil, naik bikun asalpun bersamamu
akupun sudah senang.
Tak usahlah kita makan di tempat mahal, makan di kantin pun
jadi asalkan bersamamu.
Tak usahlah kamu memakai baju baju yang branded, memakai
kaus belel yang sudah terlalu sering di laundry pun aku senang melihatmu.
Ketahuilah, aku mencintaimu dari segala kekurangan dan kelebihanmu.
Tapi benar kutipan bill gates “ Life isn’t fair, get used
for it”
Yang tidak benar benar mencintai seperti sahabatku si A,
bisa mendapatkan orang yg menyayangi dia. Aku yang benar benar mencintaimu,
bahkan tidak mendapat sedikit perhatian darimu.
Ketahuilah, aku pun lelah.
Aku ingin berhenti, tapi hatiku tidak bisa.
Aku ingin menangis, berteriak.
Aku sudah hancur berkeping keeping, kamu yang
menghancurkannya, dan sialnya sepertiya hanya kamu yang mampu membenarkannya.
Lamunanku tersadar.
“hey kita sudah sampai nih, ayo turun!” sahabat ku si B
menepuk pundakku.
Aku berpura pura menggosok mataku agar dia tidak tahu bahwa
mataku berair.
Yah begitulah hidupku.